Kehidupan
manusia tak dapat dipisahkan dengan nilai, moral dan hukum. Bahkan persoalan
kehidupan manusia terjadi ketika tidak ada lagi peran niali, moral dan hukum
dalam kehidupan. Nilai-nilai menjadi landasan sangat penting yang mengatur
semua perilaku manusia. Nilai menjadi sumber kekuatan dalam menegakkan suatu
ketertiban dan keteraturan sosial. Demikian hal, moral sebagai landasan
perilaku manusia yang menjadikan kehidupan berjalan dalam norma-norma kehidupan
yang humanis-religius. Kekuatan hukum menjadi kontrol dalam mengatur keadilan
akan hak dan kewajiban setiap manusia dalam menjalankan peran-peran penting
bagi kehidupan manusia. Peran nilai, moral maupun hukum menjadi bagian penting
bagi proses pembentukan karakter suatu bangsa.
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa
mampu :
1.
Membedakan pengertian nilai, moral dan hukum
2.
Mendeskripsikan peran nilai, moral dan hukum
dalam kehidupan manusia
3.
Menganalisis perubahan nilai, moral dan hukum
dalam kehidupan
4.
Menjelaskan peran nilai dalam pembentukan
karakter manusia.
5.
Menganalisis masalah pembentukan karakter
bangsa.
Perilaku
manusia terkait dengan nilai. Bahkan nilai menjadi aspek penting yang
dibutuhkan oleh manusia. Menurut Robert M.Z. Lawang, nilai adalah gambaran
mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi
perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu perilaku sosial dari orang
yang memiliki nilai itu. Sedangkan menurut Pepper, sebagaimana dikutip oleh
Munandar, menyatakan bahwa batasan nilai dapat mengacu pada berbagai hal
seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama,
kebutuhan, keamanan, keengganan dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan
dan orientasi seleksinya (Irene,
1993:21).
Nilai
mempunyai berbagai makna, sehingga sulit untuk menyimpulkan secara komprehensif
makna nilai yang mewakili dari berbagai kepentingan dan berbagai sudut pandang,
tetapi ada kesepakatan yang sama dari berbagai pengertian tentang nilai yakni
berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Untuk melihat
sejauhmana variasi pengertian nilai tersebut, terutama yang terkait dengan
pendidikan, di bawah ini ada beberapa definisi yang diharapkan berbagai sudut
pandang (dalam Elly,2007:120)
1.
Menurut Cheng (1955): Nilai merupakan sesuatu
yang potensial, dalam arti terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehingga
berfungsi untuk menyempurnakan manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut
atau sifat yang seharusnya dimiliki .
2.
Menurut Frakena, nilai dalam filsafat dipakai
untuk menunjuk kata benada abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu
tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
3.
Menurut Lasyo, nilai bagi manusia merupakan
landasan atau motivasi dalam segala tingkah laku atau perbuatannya.
4.
Menurut Arthur w.Comb, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan yang
digeneralisir yang berfungsi sebagai garis pembimbing untuk menyeleksi tujuan
serta perilaku yang akan dipilih untuk dicapai.
5. Menurut John Dewey , value
is object of social
interest
Sosiologi
tidak berbicara tentang nilai itu sendiri, tetapi lebih menekankan sejauh mana
suatu nilai akan mempengaruhi perilaku seseorang dan hubungannya dengan orang lain (Irene, 1993:21).
Menurut Prof. Dr. Notonegoro, membagi nilai menjadi 3 yakni:
1.
Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi unsur manusia.
2.
Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi manusia untuk mengadakan kegiatan dan aktivitas.
3.
Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang
berguna bagi rohani manusia.
Nilai
kerohanian ini dapat dibedakan atas 4
macam yakni:
1.
Nilai kebenaran yang bersumer pada unsur akal.
2.
Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa
indah.
3.
Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber
pada unsur kodrat manusia.
4.
Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan,
kerohanian yang tertinggi dan mutlak.
Dengan
demikian, nilai itu tidak hanya sesuatu yang berwujud benda material saja, akan
tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud benda material. Bahkan sesuatu yang
bukan benda material itu dapat menjadi nilai yang sangat tinggi nilainya
(Irene, 1993:21). Nilai rohani tidak dapat diukur dengan menggunakan alat-alat
pengukur (misalnya: meteran, timbangan); tetapi diukur dengan “budi nurani
manusia”. Oleh karena itu, sangatlah sulit dilakukan apalagi kalau perwujudan
budi nurani yang universal (Irene, 1993:22). Bagi manusia nilai dijadikan
landasan, alasan atau motivasi dalam segala perbuatannya. Dalam pelaksanaannya,
nilai-nilai dijabarkan dalam bentuk norma atau ukuran normatif, sehingga
merupakan suatu perintah/keharusan, anjuran atau merupakan larangan, tidak
diinginkan atau celaan. Segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran,
keindahan, kebaikan dan sebagainya, diperintahkan/dianjurkan. Sedangkan segala
sesuatu yang sebaliknya (tidak benar, tidak indah, tidak baik dan sebagainya),
dilarang/tidak diinginkan atau dicela. Dari uraian di atas, jelas bahwa nilai
berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia (Irene,
1993:22).
Robert
M. William (1982) memberikan perumusan yang jelas tentang adanya empat buah
kualitas tentang nilai-nilai, yaitu:
1.
Nilai mempunyai sebuah elemen konsepsi yang
lebih mendalam dibandingkan dengan hanya sekedar sensasi, emosi, atau
kebutuhan. Dalam hal ini nilai dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari
pengalaman-pengalaman seseorang.
2.
Nilai-nilai menyangkut atau penuh semacam
pengertian yang memiliki suatu aspek emosi.
3.
Nilai-nilai bukan merupakan tujuan konkrit dari
suatu tindakan, tetapi mempunyai hubungan dengan tujuan, sebab nilai-nilai
sebagai kriteria dalam memiliki tujuan- tujuan. Seseorang akan berusaha
mencapai segala sesuatu yang menurut pandangannya mempunyai nilai-nilai.
4.
Nilai-nilai mempunyai unsur penting, dan tidak
dapat disepelekan bagi orang yang bersangkutan. Dalam kenyataan nilai-nilai
berhubungan dengan pilihan,
5.
dan pilihan merupakan prasyarat untuk mengambil
suatu tindakan.
Dalam
kajian sosiologi, yang dimaksud dengan sistem nilai adalah nilai inti (score value) dari masyarakat.
Nilai inti ini diikuti oleh setiap individu atau kelompok yang berjumlah besar.
Warga masyarakat betul-betul menjunjung tinggi nilai itu sehingga menjadi salah
satu faktor penentu untuk berperilaku. Bahkan menurut William (1980), sistem nilai itu tidak
tersebar secara sembarangan, tetapi
menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat timbal balik, yang menjelaskan adanya
tata tertib di dalam suatu masyarakat.
Adanya
sistem nilai budaya yang meresap dan berakar kuat di dalam jiwa masyarakat,
maka akan sulit diganti atau diubah dalam waktu singkat. Mungkin anda pernah
mendengar pepatah “banyak anak banyak rejeki”. Sistem nilai ini begitu diyakini
oleh sebagian besar masyarakat kita dulu, sehingga pelaksanaan program KB yang
menginginkan keluarga kecil bahagia barulah tampak berhasil sekitar 20 tahun
kemudian. Menurut Koentjoroningrat suatu sistem nilai budaya juga berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Irene, 1993:23).
Hakikat
adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu. Sulit dipahami jika
tidak diberi contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu
adalah buku tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu
kertas yang terjilid dengan rapi. Nah kertas itu yang merupakan unsur utama
dari sebuah buku.
Nilai cenderung
bersifat tetap, tetapi yang berubah adalah penilaian oleh manusia. Oleh karena
itu tidak tepat dikatakan bahwa ada pergeseran nilai karena nilai tidak pernah
bergeser. Yang bergeser adalah persepsi atau penilaian manusia. Sebagai
contohnya, Vincent Van Gogh adalah seorang pelukis yang dilahirkan di Zundert,
sebuah kota di Belanda selatan pada tanggal 30 Maret 1853. Ia mati bunuh diri
pada tanggal 28 Juli 1890. Kemiskinan dan karya seninya yang tidak diapresiasi
merupakan penyebab kematiannya. Pada saat itu lukisan Van Gogh tidak memiliki arti apa pun di
masyarakat, tetapi seratus tahun kemudian karyanya diagungkan, contoh lainya
untuk lukisan Affandi peluksi dari Indoneia dihargai nilai lukisannya dengan
harga relatif mahal dibandingkan saat ia nasih beliau masih hidup. Hal tersebut
sebagai contoh bahwa nilai tidak berubah tetapi cara manusia dalam menilai bisa
berubah. Coba Anda renungkan dengan mengamati nilai-nilai yang ada dalam
kehidupan masyarakat kita.
Nilai
tidak mudah dipahami jika lepas dari konteksnya. Oleh karena itu, pemahaman
tentang nilai bersifat silmultan saja, tetapi harus dipahami secara holistik
dan kontinue , sehingga problem yan akan diatasi atau dikaji memapaparkan
persoalan nilai dalam berbagai dimensinya, sebagaimana dijelaskan oleh Frondizi
memberikan yang melakukan pemilahan terhadap kualitas sesuatu, yaitu:
1.
Kualitas
primer: Suatu hal utama
yang membuat kenyataan sesuatu dan sifatnya harus (misalnya: bentuk, wujud, panjang, berat, tinggi [bisa diindera/material], akal [tidak bisa diindera/immaterial])
2.
Kualitas sekunder: Sesuatu yang menyertai
kenyataan sesuatu (misalnya: warna, rasa, dan bau)
3.
Kualitas tersier: Sesuatu yang tidak dapat
ditangkap oleh indera (misalnya: kharisma, rasa takut, bingung, keanggunan)
Ketiga
kualitas ini bersatu menjadi sesuatu yang disebut sebagai Kualitas Gestalt. Dengan penyatuan tiga kualitas tadi,
sesuatu bisa dibedakan,
misalnya: mana orang yang baik hati, mana gitar yang suaranya merdu, mana kasur
yang enak ditiduri, dan sebagainya. Kualitas Gestalt inilah yang menjadi ciri khas
setiap objek. Contoh yang lebih konkrit lagi. Apa yang merupakan Kualitas Gestalt dari manusia? Pertama-tama harus dipilah
dulu kualitasnya:
•
Kualitas primer: manusia memiliki akal, karsa, dan rasa
•
Kualitas sekunder: manusia memiliki bentuk, dan
warna sehingga bisa diindera
•
Kualitas tersier: manusia memiliki kejujuran,
loyalitas, dedikasi, keberanian, dan sebagainya.
Menurut
Robert M.Z. Lawang, norma diartikan patokan perilaku
dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang untuk menentukan
terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai oleh orang lain; dan
norma ini merupakan
kriteria bagi orang lain untuk
mendukung atau menolak perilaku seseorang (Irene, 1993:23).
Ada
berbagai macam jenis norma sosial, yang tak selamanya mudah diperbedakan satu
sama lain. Oleh karena itu usaha-usaha untuk mengadakan klasifikasi yang
sistematis
amatlah
sukar. Seperti yang dijelaskan oleh Soetandyo Wignyosoebroto (1989), bahwa satu
di antara usaha-usaha untuk memperbedakan norma-norma sosial atas dasar jenis sanksi yang mendasari
kekuatan berlakunya. Walaupun para
sosiolog mengakui adanya batas yang kurang jelas dari pengklasifikasian
norma-norma sosial ini,
akhirnya digolongkannya menjadi antara
lain apa yang disebut
“folkways'”, “mores”
dan “hukum”.
1)
Folkways
Folkways diartikan dari arti kata-katanya berarti
tatacara (=ways) yang lazim dikerjakan atau diikuti oleh
literatur-literatur sosiologi, folkways dimaksudkan untuk
menyebutkan seluruh norma-norma sosial yang terlahir dari adanya pola-pola
tingkah pekerti yang selalu diikuti oleh orang-orang kebanyakan - di dalam
hidup mereka sehari- hari yang dipandang sebagai hal yang telah terlazim.
Walaupun folkways semula hanya merupakan
kebiasaan dan kelaziman belaka (yaitu sesuatu yang terjadi secara berulang-
ulang dan ajeg di dalam realita), maka berangsur-angsur dirasakan adanya
kekuatan yang bersifat standard,
yang akhirnya secara normatif wajib dijalani. Misalnya praktek-praktek
penggunaan tata bahasa dan perbendaharaan bahasa; berapa kali kita makan sehari; cara kita
berpakaian; cara merawat dan membersihkan tubuh; cara mengucapkan salam dan
lain sebagainya.
Dengan
adanya folkways sebenarnya mempermudah tugas
kita sebagai warga masyarakat, karena folkways sudah mempersiapkan petunjuk-petunjuk atau
pedoman- pedoman (normatif) yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menentukan
cara apakah yang sebaiknya dipilih atau dikerjakannya. Sebagai contohnya, pada
saat anda pergi kuliah akan berpakaian sopan dan rapi, tapi saat pergi ke
pantai anda pun dengan bebas memakai celana pendek dan kaos. Folkways yang diikuti secara terus -menerus
tidak hanya mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang bersifat lahir, akan tetapi
dapat juga berpengaruh pada kebiasaan-kebiasaan berpikir. Setiap warga
masyarakat pada akhirnya akan berpikir untuk dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan masing-masing warga di dalam situasi- situasi tertentu. Perasaan aman
dan pasti tentu akan dirasakan oleh masing-masing warga masyarakat, apabila folkways dipakai sebagai norma yang diterima dan
dimengerti oleh warga-warga masyarakat.
Penyimpangan
terhadap folkways tentu dapat terjadi pada
masyarakat, misalnya: untuk pergi kuliah tidak lagi berpakaian sopan dan rapi,
tapi memakai kaos singlet dan bersarung. Makan dengan tangan kiri dan
sebagainya. Sebagai sarana pengontrol dan penentu keadaan tertib sosial, folkways pun memiliki sanksi-sanksi kepada
pelanggarnya. Sanksi-sanksi folkways relatif tidak berat, dan
sifatnya tidak formil, seperti misalnya: berupa ejekan, sindiran, pergunjingan
dan olok-olok. Namun demikian, sanksi-sanksi ini dapatlah bersifat kumulatif
jika pelanggaran terhadap folkways dilakukan secara terus-
menerus. Pada akhirnya si pelanggar akan tersisihkan dari kontak-kontak sosial
(Irene, 1993:24).
Folkways biasanya berlaku pada orang di dalam batas-batas tertentu. Ancaman- ancaman terhadap sanksi pelanggaran-pelanggaran
folkways pun hanya akan datang dari
kelompok-kelompok tertentu itu saja. Oleh karena itu, sanksi-sanksi
informil yang mempertahankan folkways seringkali tidak terbukti
tidak efektif kalau ditujukan kepada orang-orang yang tidak menjadi warga penuh
dari kelompok pendukung folkways itu. Seperti contoh di
bawah:
Seorang
anak kota yang berdandan “menor” di tengah-tengah desa, walaupun
dipergunjingkan dengan hebat oleh orang-orang sedesa, pastilah tidak akan
merasa sakit hati atau terseinggung. Mengapa hal itu bisa terjadi? Tidak lain karena si anak kota itu
secara fisik memang betul berada di desa, namun secara mental dan sosial masih menjadi orang
kota.
2)
Mores
Dibandingkan dengan norma-norma folkways yang biasanya dipandang kurang penting,
maka mores dipandang lebih esensiil
bagi terjaminnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, mores selalu dipertahankan dengan
ancaman-ancaman sanksi yang jauh lebih keras. Pelanggaran terhadap mores selalu disesali
dengan sangat, dan orang selalu berusaha dengan amat kerasnya agar tidak
melanggar mores.
Seperti
halnya dijelaskan oleh Soetandyo Wignyosoebroto, kesamaan folkways dan mores
terletak pada kenyataan bahwa kedua-duanya tidak jelas asal-usulnya,
terjadinya tidak terencana, dasar eksistensinya tidak pernah dibantah, dan
kelangsungannya, karena didukung oleh tradisi - relatif amatlah besar.
Dijelaskan lebih lanjut, bahwa kesamaan antara folkways dan mores adalah sanksi-sanksinya bersifat informil dan
komunal, berupa reaksi spontan dari kelompok-kelompok sosial di mana
kaedah-kaedah tersebut hidup. Namun demikian, mores lebih dipandang sebagai bagian dari hakekat
kebenaran, di mana sebagai norma secara moral dipandang benar.
Mores sering dirumuskan di
dalam bentuk yang negatif berupa larangan keras atau sebagai hal yang dianggap tabu misalnya: larangan
perkawinan antara saudara yang masih berdarah dekat. Larangan melakukan
hubungan suami isteri yang tidak terikat tali perkawinan (berzina). Mores tidak hanya berupa larangan keras,
tetapi juga mengatur perhubungan khusus antara dua orang tertentu; pada situasi
tertentu; misalnya: seorang dokter dan pasien. Mores juga mengkaidahi secara umum sejumlah
perhubungan- perhubungan sosial di dalam situasi-situasi umum. Sebagai
contohnya, kita diharuskan bersikap jujur, rajin, bertanggung jawab dan
sebagainya.
Berkembangnya
masyarakat yang semakin heterogen dan kompleks menjadikan folkways dan mores tidaklah cukup untuk
menciptakan keadaan tertib suatu masyarakat. Pada masyarakat yang agraris dan
primitif untuk menciptakan keadaan tertib cukup dengan folkways dan mores saja. Karena pada
situasi tersebut hubungan antara warga masih saling kenal; jumlah warga relatif
sedikit; dan jarang mengadakan kontak dengan warga dari desa lain, akibatnya
pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga dapat langsung diketahui dan
mendpat perhatian. Namun demikian, adalah suatu kenyataan bbahwa tidak semua
masyarakat dapat menegakkan ketertiban seperti cara yang dilakukan pada
masyarakat yang masih terpencil dan terisolasi.
Mores memerlukan kekuatan
organisasi peradilan agar pentaatannya bisa dijamin, maka segera itu bisa
dipandang sebagai hukum. Sebagai hukum yang tidak tertulis dapatlah dikatakan
sebagai hukum adat. Hukum tertulis merupakan perkembangan akhir dari bentuk
norma-norma sosial yang bersifat formil. Badan peradilan yang bekerja dengan
hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Suatu organisasi politik yang
hanya mengerjakan fungsi peradilan yakni menegakkan berlakunya kaedah-kaedah
tertulis mulai kewalahan bila harus mengurusi berbagai ragam pelanggaran yang
dilakukan banyak orang. Oleh karena itu, seiring dengan berlakunya norma hukum
ini, bertambah pula fungsi organisasi politik yang membantu menegakkan hukum
dalam menciptakan ketertiban masyarakat, seperti munculnya fungsi kepolisian.
Walaupun
hukum senantiasa berkembang sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat;
seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, hukum perkawinan dan
sebagainya; anda perlu ketahui juga bahwa mores dan folkways
masih tetap efektif juga. Karena hukum biasanya dijiwai oleh semangat dan jiwa mores yang lama, yang
mungkin sudah terangkat sebagai hukum tak tertulis atau pun hukum tertulis.
Hukum tertulis merupakan hasil suatu perencanaan dan pikiran-pikiran yang
sadar. Fungsi hukum tertulis memberikan pelafalan-pelafalan yang lebih tepat
dan tegas yang pelaksanaannya mempunyai kekuatan-kekuatan formal.